BLOKSUMATERA.COM – Petugas Kepolisian Resor (Polres) Tapanuli Selatan menangkap seorang pria berinisial MN (64), Ketua Yayasan sekaligus pengasuh di sebuah pondok pesantren (Ponpes) di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel). Ia diduga memperkosa santriwatinya secara berulang sejak Juli 2021 hingga 2022.
Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Selatan, AKBP Yon Edi Winara, membenarkan penangkapan tersebut. Menurutnya, kasus itu terungkap setelah ibu korban melaporkan perbuatan pelaku kepada pihak kepolisian.
“Dari hasil pemeriksaan, diketahui pelaku pertama kali melakukan aksinya saat korban sedang mencuci piring di rumah MN yang berada di kompleks pondok pesantren,” ujar AKBP Yon Edi Winara kepada wartawan, Sabtu (9/8/2025).
Ia menjelaskan, pelaku menarik tangan korban, menutup mulutnya, kemudian memperkosanya. Aksi serupa dilakukan beberapa kali di kesempatan berbeda, termasuk saat korban sedang menonton televisi di rumah pelaku.
“Total ada lima kali tindakan asusila yang dilakukan MN terhadap korban, dengan modus memberi sejumlah uang agar korban diam,” tambahnya.
Berdasarkan hasil visum et repertum, ditemukan bukti kuat yang menguatkan dugaan tindak perkosaan. Dalam pemeriksaan, MN mengakui seluruh perbuatannya. Petugas kemudian menangkap pelaku di kediamannya pada Jumat (8/8/2025) tanpa perlawanan.
Atas perbuatannya, pelaku dijerat dengan Pasal 76D jo Pasal 81 serta Pasal 76E jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
“Ancaman hukumannya lima hingga lima belas tahun penjara serta denda maksimal Rp5 miliar. Karena pelaku adalah pendidik dan pengasuh, hukumannya bisa ditambah sepertiga dari ketentuan pidana,” tegas Kapolres.
Kasus ini menjadi perhatian serius aparat kepolisian dan masyarakat setempat mengingat pelaku merupakan tokoh yang seharusnya menjadi panutan di lingkungan pendidikan agama.
Polres Tapanuli Selatan berkomitmen mengusut tuntas kasus tersebut serta memberikan pendampingan hukum dan psikologis kepada korban agar dapat pulih dari trauma.
“Kami pastikan proses hukum berjalan transparan dan profesional. Tidak ada ruang bagi pelaku kekerasan seksual, terlebih di lingkungan pendidikan,” pungkas AKBP Yon Edi Winara.(J J)












